PALU, Rajawalinet.co — Tuntutan penciutan lahan kontrak karya PT Citra Palu Minerals (PT CPM) kembali disuarakan masyarakat Poboya. Melalui pernyataan terbuka pada Kamis (11/12/2025), tokoh masyarakat Kusnadi Paputungan menegaskan bahwa desakan ini bukan semata soal lapangan kerja, melainkan berkaitan erat dengan sejarah, kultur, dan jati diri masyarakat adat Tara—sub etnis Kaili Tara—yang sudah turun-temurun bermukim dan hidup dari kawasan itu.
“Kami masyarakat Poboya, lembaga adat, rakyat lingkar tambang, dan semua yang beraktivitas di tambang rakyat tetap pada tuntutan penciutan lahan kontrak karya,” tegas Kusnadi.
Ia menambahkan bahwa kawasan pegunungan Vunga yang kini menjadi titik sengketa merupakan wilayah leluhur yang secara tradisional dikelola masyarakat sejak masa nenek moyang.
Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam di Poboya memiliki dimensi kearifan lokal yang tak bisa dilepaskan.
“Dalam kultur masyarakat Poboya, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana. Tidak mengherankan kalau hingga kini ritual adat masih dilakukan agar pencipta melindungi para pencari nafkah dan mereka mendapat hasil maksimal,” ujarnya.
Kusnadi menegaskan bahwa persoalan ini juga memuat nilai sosial yang penting. Baginya, lahan yang dituntut untuk diciutkan bukan semata ladang penghidupan, melainkan ruang sosial yang merekatkan warga Poboya, komunitas lingkar tambang, hingga pendatang dari luar Palu dan Sulawesi Tengah.
“Di sana mereka beradu nasib dan menjalin perasaan yang sama sebagai rakyat yang harus bekerja keras kala negara belum mampu memberi lapangan kerja yang layak,” katanya.
Ia bahkan menilai penciutan lahan merupakan syarat untuk memastikan keberlanjutan Poboya sebagai ruang hidup masyarakat adat.
“Tegasnya, lahan yang dituntut diciutkan adalah warisan leluhur yang harus dipertahankan. Jika tidak, tamatlah riwayat Poboya di tanah leluhur mereka. Anak cucu kita pasti akan mengutuk kami karena membiarkan warisan itu hilang dan hanya mewariskan harapan hampa,” ungkap Kusnadi.
Kritik tajam juga ia sampaikan kepada pihak PT CPM dan BRM. Ia menilai perusahaan melihat Poboya hanya dari sudut pandang ekonomi tanpa mempertimbangkan dimensi historis, kultural, sosiologis, dan filosofis masyarakat adat.
“Makanya wajar jika mereka berlaku diskriminatif terhadap rakyat lokal dan rakyat lingkar tambang, karena di kepala mereka hanya urusan kapital untuk meraih keuntungan berlipat ganda,” ujarnya.
Kusnadi bahkan menyatakan kesiapannya berdebat terbuka dengan jajaran petinggi perusahaan.
“Saya siap berdebat dengan legal direktur BRMS, Sulthon Muhammad, Charles selaku Direktur Keuangan BRMS, dan Sudarto, Konsultan Senior CPM. Jika perlu, forum debatnya dilakukan di Poboya agar semua masyarakat bisa menyaksikan argumen mana yang logis, realistis, dan berpihak pada rakyat,” tegasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa tanpa penciutan lahan dan ruang khusus untuk pertambangan rakyat, keadilan atas sumber daya alam mustahil tercapai di Poboya.
“Jangan melihat persoalan ini hanya hitam putih aturan. Aspek historis, kultural, sosiologis, hingga filosofis jauh lebih penting untuk menciptakan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan sosial,” tandasnya.
