Indeks

Komnas HAM Kritik Keras Rancangan Revisi UU HAM

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa rancangan versi pemerintah justru membuka peluang terjadinya pelemahan kelembagaan dan konflik kepentingan dalam penegakan HAM.

Komnas HAM Kritik Keras Rancangan Revisi UU HAM
Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah/Sumber: Istimewa

JAKARTA, Rajawalinet.co — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan kritik tajam terhadap Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang tengah disusun oleh Pemerintah melalui Kementerian Hak Asasi Manusia. Revisi tersebut dinilai mengancam independensi Komnas HAM dan berpotensi memangkas lebih dari separuh kewenangannya.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa rancangan versi pemerintah justru membuka peluang terjadinya pelemahan kelembagaan dan konflik kepentingan dalam penegakan HAM.

“Rancangan ini berpotensi melemahkan kewenangan Komnas HAM di tengah semakin besarnya kewenangan Kementerian HAM,” kata Anis dalam keterangan pers Nomor 64/HM.00/X/2025, di Jakarta, Kamis (30/10/2025).

Komnas HAM mencatat sedikitnya 21 pasal krusial yang bermasalah baik dari sisi norma maupun kelembagaan, di antaranya Pasal 1, 10, 79, 80, 83–85, 87, 100, 102–104, 109, dan 127. Dalam rancangan tersebut, Komnas HAM tidak lagi berwenang menerima dan menangani pengaduan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, serta penyuluhan dan pengkajian HAM, kecuali dalam konteks regulasi atau instrumen internasional.

“Jika rancangan ini disahkan, Komnas HAM kehilangan peran pentingnya dalam pendidikan, pengkajian, dan pemantauan pelanggaran HAM. Fungsi pencegahan dan koreksi terhadap kebijakan negara akan lumpuh,” tegas Anis.

Selain itu, Komnas HAM juga menyoroti pasal 100 ayat (2) huruf b yang menyebutkan panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh Presiden. Ketentuan ini dinilai bertentangan dengan prinsip independensi sebagaimana diatur dalam Paris Principles, karena dalam UU No. 39 Tahun 1999, panitia seleksi ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM sendiri.

“Keterlibatan langsung Presiden dalam proses seleksi jelas mengancam independensi lembaga. Komnas HAM harus bebas dari campur tangan eksekutif,” ujar Anis.

Ia menambahkan, pemberian kewenangan penanganan pelanggaran HAM kepada Kementerian HAM tidak dapat dibenarkan, mengingat kementerian merupakan bagian dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban HAM (duty bearer).

“Kementerian tidak seharusnya menjadi ‘wasit’ ketika pemerintah justru kerap menjadi pihak yang diadukan dalam kasus pelanggaran HAM,” tutur Anis.

Komnas HAM juga mengingatkan, pembatasan kerja sama pengkajian dengan lembaga nasional maupun internasional akan menutup ruang kolaborasi penting dalam merespons kasus-kasus lintas yurisdiksi.

“Rancangan ini bisa dimaknai sebagai upaya menghapus keberadaan Komnas HAM dari sistem kelembagaan HAM nasional,” tegasnya lagi.

Lebih lanjut, Komnas HAM mendesak pemerintah untuk meninjau ulang substansi revisi UU HAM, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangan dan fungsi lembaga.

“Revisi seharusnya memperkuat, bukan memperlemah Komnas HAM. Tujuannya agar sistem perlindungan HAM di Indonesia semakin efektif,” ujar Anis.

Komnas HAM menyebut telah menyusun naskah akademik dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menekankan pentingnya penguatan norma HAM, perlindungan kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan lansia, serta pengaturan lebih tegas tentang pembela HAM.

“Kami ingin revisi ini mengarah pada penguatan perlindungan dan penegakan HAM, bukan pembatasan lembaga independen yang justru melindungi hak warga,” tutup Anis.

error: Content is protected !!
Exit mobile version