Jakarta, rajawalinet.co – Para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuka peluang baru dalam dunia pengobatan dengan mengeksplorasi potensi tanaman obat lokal sebagai alternatif terapi kanker dan penyakit hati. Pendekatan ini dianggap lebih aman, terjangkau, dan minim efek samping dibandingkan terapi sintetis.
Dalam webinar nasional bertajuk “Kartini Masa Kini : Sehat dan Tangguh Bersama Inovasi Bahan Alam”, Selasa (22/4), Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional (PRBBOOT) BRIN, Sari Haryanti, memaparkan bahwa senyawa aktif seperti kurkumin dari kunyit, EGCG dari teh hijau, dan quercetin dari buah-buahan, terbukti memiliki kemampuan menekan pertumbuhan sel kanker.
“Bahan alam dapat menjadi pendamping atau bahkan pengganti terapi konvensional, terutama karena efek sampingnya lebih minimal,” jelas Sari.
Fokus utama riset ini adalah kanker payudara, yang menurut data International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2022, merupakan jenis kanker paling umum dengan tingkat kematian tertinggi secara global, termasuk di Indonesia.
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama BRIN, Sri Ningsih, mengangkat potensi gambir sebagai agen antifibrosis hati. Tanaman yang banyak ditemukan di Sumatera ini memiliki kemampuan memperbaiki fungsi hati yang rusak akibat konsumsi alkohol, infeksi virus hepatitis, atau paparan bahan kimia berbahaya.
“Ekstrak gambir memiliki aktivitas antioksidan kuat, menormalkan enzim hati, dan menekan ekspresi gen pembentuk jaringan parut hati,” ujar Sri, menekankan pentingnya penelitian ini untuk pengembangan hepatoprotektor herbal.
Riset pra-klinis menunjukkan bahwa gambir efektif memperbaiki kerusakan hati pada hewan percobaan, menjadikannya kandidat obat alami yang menjanjikan.
Susi Kusumaningrum, Peneliti Ahli Madya BRIN, menutup sesi dengan menyoroti naftokuinon, kelompok senyawa bioaktif dari tumbuhan yang menunjukkan aktivitas antikanker tinggi.
“Senyawa seperti shikonin dan juglon menunjukkan efektivitas membunuh sel kanker melalui mekanisme apoptosis dan kerusakan DNA. Ini menjadikannya kandidat kuat untuk terapi kanker masa depan,” terang Susi.
Webinar ini membuktikan bahwa riset bahan alam telah memasuki era baru sebagai pilar penting dalam inovasi farmasi modern. Melalui sinergi antara peneliti, akademisi, dan industri, Indonesia berpeluang besar menjadi pelopor pengembangan obat berbasis kearifan lokal.