PALU, Rajawalinet.co – Polemik rencana penciutan wilayah izin tambang di Poboya kembali menguat setelah aksi demonstrasi warga di depan kantor PT Citra Palu Minerals (CPM). Perbedaan sikap antara perusahaan dan masyarakat makin terlihat, terutama soal langkah yang harus ditempuh agar konflik tak berlarut.
Direktur PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), Muhammad Sulthon, menegaskan bahwa keputusan penciutan bukan berada di tangan perusahaan. Ia menyebut kewenangan penuh ada pada pemerintah pusat.
“Penciutan itu kewenangan Kementerian ESDM, bukan di kami. Kami sudah sampaikan ke ESDM,” ujar Sulthon saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (8/12/2025).
Menurutnya, jika CPM harus melakukan seluruh proses teknis penciutan lebih dulu, waktunya akan sangat panjang. Ia mempertanyakan kesiapan masyarakat menunggu tahapan tersebut.
“Kalau nunggu CPM melakukan penciutan, proses teknisnya panjang. Harus pengeboran, persyaratan banyak. Masyarakat mau menunggu itu?” katanya.
Sebagai jalan tengah, Sulthon menawarkan skema kerja sama antara perusahaan dan masyarakat agar aktivitas pertambangan tetap berjalan tanpa mengabaikan kepentingan warga.
“Kita harusnya kerja sama. Supaya masyarakat tetap terlindungi, tidak dianggap ilegal, dan CPM bisa bekerja harmonis,” jelasnya.
Ia menilai pendekatan kolaborasi lebih realistis dibanding mendorong pengajuan penciutan dalam waktu dekat.
“Jawabannya sudah pasti bukan ke sana. Arahnya kerja sama saja dengan masyarakat, supaya dua-duanya makmur,” ucap Sulthon.
Di sisi lain, perwakilan Masyarakat Adat Poboya, Kusnadi Paputungan, tetap menyatakan bahwa penciutan merupakan tuntutan utama dan tidak bisa digantikan dengan skema kerja sama jangka panjang.
“Intinya penciutan. Perjalanan penciutan ini sudah sejak 2010–2011. Sudah 15 tahun kami lewati,” kata Kusnadi.
Ia menegaskan masyarakat bersedia menunggu selama diperlukan, selama perusahaan menunjukkan itikad baik dengan mengajukan permohonan resmi.
“Jangankan 3–4 tahun, 15 tahun sudah kami lewati. Kuncinya CPM harus ajukan surat permohonan penciutan ke Kementerian ESDM,” tegasnya.
Kusnadi menolak kerja sama jangka panjang karena khawatir merugikan masyarakat.
“Kami tidak percaya konsep kerja sama jangka panjang. Bisa saja diputus sepihak. Kami belajar dari kerja sama CPM dengan AKM yang dihentikan sepihak,” ujarnya.
Meski demikian, ia membuka ruang dialog terbatas.
“Kalau kerja sama jangka pendek dan saling menguntungkan, itu bisa. Tapi penciutan harus tetap jadi kesepakatan dasar,” tandasnya.
