Panggung Merdeka 100% Suarakan Demokrasi dan Perempuan

Koordinator Perempuan Mahardika Palu, Stevi Rasinta Papuling, menegaskan bahwa tema “8 Dekade Kemerdekaan dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Kemiskinan” dipilih karena masih relevan dengan kondisi masyarakat Sulawesi Tengah.

Panggung Merdeka 100% Suarakan Demokrasi dan Perempuan
Perempuan Mahardika Palu/Sumber: Istimewa

PALU, Rajawalinet.co – Komunitas Perempuan Mahardika Palu bersama sejumlah jaringan rakyat menggelar Panggung Merdeka 100% di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, Sabtu (23/8/2025). Acara yang berlangsung sejak pagi hingga malam itu diisi dengan diskusi publik, lokakarya, hingga panggung ekspresi.

Koordinator Perempuan Mahardika Palu, Stevi Rasinta Papuling, menegaskan bahwa tema “8 Dekade Kemerdekaan dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Kemiskinan” dipilih karena masih relevan dengan kondisi masyarakat Sulawesi Tengah.

“Diskusi publik kemarin menghadirkan dua narasumber perempuan dari SKP HAM dan dosen K3 Universitas Tadulako. Ada empat isu utama yang kami bahas: demokrasi, sejarah, ekstraktivisme, dan ketenagakerjaan. Semua ini sangat berkaitan dengan situasi hari ini,” kata Stevi, Minggu (24/8/2025).

Ia menyoroti demokrasi Indonesia yang menurutnya belum sepenuhnya mewakili suara rakyat, serta warisan sejarah seperti kasus 1965 yang masih terasa dampaknya. Stevi juga menekankan maraknya industri tambang di Morowali hingga Banggai yang justru memperparah ketidakadilan sosial.

“Ketika alam dirusak, tubuh perempuan juga ikut dirusak. Industri tambang bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga menambah beban hidup perempuan,” ujarnya.

Isu ketenagakerjaan juga jadi sorotan. Banyak anak muda, terutama perempuan, bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan tanpa kontrak kerja. “Di kafe-kafe misalnya, mereka bekerja delapan jam sehari dengan upah sangat murah, jauh dari layak,” tambahnya.

Panggung Merdeka 100% turut menghadirkan sesi work café yang mempertemukan Solidaritas Perempuan Palu, guru, komunitas adat, hingga pelajar. Peserta membahas strategi bersama menghadapi situasi yang mereka anggap tidak adil.

“Contohnya di Naku, Bekurehua, ada bank tanah yang merampas jalan tani milik masyarakat. Dari sini kami mendorong solidaritas dan strategi bersama,” jelas Stevi.

Kegiatan ditutup dengan panggung ekspresi yang menurutnya menjadi ruang politik terbuka. “Panggung Merdeka ini adalah ruang konsolidasi. Kita ingin berebut kembali arah politik rakyat di momen kemerdekaan, bukan sekadar seremonial. Ruang ini fleksibel dan terbuka untuk siapa saja yang ingin bergerak,” tegasnya.

Stevi memastikan agenda serupa akan berlanjut. Pada September, Perempuan Mahardika Palu berencana menggelar workshop untuk pekerja perempuan berusia maksimal 30 tahun.

“Semalam itu bukan sekadar perayaan, tapi ajakan untuk bersatu kembali. Tidak ada alasan berhenti berorganisasi, karena hanya dengan itu kita bisa melawan eksploitasi,” tutupnya.

error: Content is protected !!