PARIGI MOUTONG – Aktivitas penambangan pasir dan batu yang berada di sekitar Bendungan Daerah Irigasi (DI) Tada, Desa Silutung, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, memicu kekhawatiran serius dari masyarakat dan sejumlah kepala desa. Penambangan yang diduga melanggar aturan ini dikhawatirkan merusak lingkungan dan mengganggu pasokan air bagi lahan pertanian yang sangat luas.
Kepala Desa Siney, Fahmi Yahya, saat dihubungi Kamis (17/4/2025), mengungkapkan bahwa pengerukan pasir yang dilakukan tak jauh dari bendungan telah berdampak pada berkurangnya suplai air ke sawah milik warga.
“Sudah ada dampak dari pengerukan itu, air jadi berkurang, mungkin akibat itu,” ungkap Fahmi.
Ia menjelaskan, irigasi Tada mengairi lebih dari 10.000 hektar sawah yang tersebar di 10 desa. Oleh karena itu, ia sedang mempertimbangkan untuk menempuh langkah hukum, namun akan lebih dulu melakukan komunikasi dengan para kepala desa lain yang terdampak.
“Kami akan komunikasi dulu, karena daerah irigasi Tada ini mengairi lebih dari 10.000 hektar sawah dari 10 desa,” tambahnya.
Fahmi juga menegaskan bahwa dirinya akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat, terutama dalam mempertahankan pertanian sebagai mata pencaharian utama.
Sementara itu, Kepala Desa Silutung, Adnan, mengakui telah memberikan izin kepada pelaku tambang. Namun ia menepis tudingan soal penerimaan kontribusi dari aktivitas tersebut.
“Kalau saya beri izin benar, tetapi kalau dikasih kontribusi, tidak ada sama saya. Tanya saja ke Pemda,” ujarnya.
Adnan juga mengakui bahwa jarak tambang dengan bendungan tidak sesuai ketentuan. Ia menyebut lokasi tambang hanya sekitar 25 meter dari bendungan, jauh dari batas aman yang diatur dalam regulasi.
Meski mengetahui pelanggaran tersebut, Adnan mengaku tak bisa mengambil tindakan sendiri untuk menghentikan operasi tambang.
“Saya ikut arus saja. Kalau teman-teman bilang diberhentikan, ya diberhentikan. Tapi harus komitmen bersama,” tegasnya.
Kepala Desa Tada, Hamka, juga menyatakan hal serupa. Ia membenarkan adanya aktivitas penambangan pasir ilegal di wilayah irigasi. Menurutnya, meski pelaku mengklaim mengantongi izin, lokasinya hanya 20 hingga 250 meter dari mercu bendungan, yang menimbulkan kecurigaan.
“Jika masyarakat menolak, kami pun akan ikut menghentikan. Tapi kami tidak punya andil dalam urusan perizinan, itu ranah Pemda,” jelas Hamka.
Kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan minimnya transparansi dalam pemberian izin tambang. Para kepala desa dan warga kini berharap agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini demi keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat tani.