PALU, Rajawalinet.co – Aksi unjuk rasa 1 September di Kota Palu menuai kritik dari kalangan aktivis. Mereka menilai ruang perlawanan rakyat justru dikooptasi oleh kepentingan elit politik daerah.
Koordinator Ruang Setara (Rasera Project), Aulia Hakim, menyebut aksi tersebut kehilangan arah. Menurutnya, panggung aspirasi berubah menjadi ajang kompromi yang tak melahirkan solusi.
“Ketika amarah rakyat seperti ini kemudian dimodernisasi oleh elit, substansi perjuangannya tidak melahirkan solusi,” ujar Aulia, Senin (1/9/2025).
Ia mengingatkan agar publik belajar dari sejarah gelombang protes besar di Sulteng, mulai dari penolakan Omnibus Law, KUHP, hingga RUU TNI.
“Tidak ada yang bisa menjamin transparansi. Bahkan tujuh atau delapan wakil rakyat Sulteng di Senayan sampai hari ini tidak menunjukkan keberpihakan terhadap tuntutan rakyat. Artinya, tidak ada harapan dari jalur itu,” tegasnya.
Nada senada datang dari Koordinator Perempuan Mahardhika Palu, Stevi Papuling. Ia menilai jalannya aksi benar-benar dikendalikan elit.
“Panggung tadi dikontrol sama elit, sama orang-orang yang justru mengatur pembangunan di Sulteng. Sudah muak saya dengan janji-janji itu,” ungkap Stevi.
Stevi juga menyoroti lemahnya peran legislatif dalam mengawasi industri tambang yang memicu bencana ekologis.
“Harusnya mereka menemui pemilik perusahaan tambang dan memberi sanksi tegas. Faktanya, dua minggu terakhir kita lihat banjir di Tondo dan Morowali, dampaknya jelas dari tambang di atas,” jelasnya.
Ia menambahkan, isu perempuan nyaris selalu terpinggirkan dalam agenda perjuangan rakyat.
“Belajar dari aksi Omnibus Law dan RUU TNI, tidak ada satu pun tuntutan yang berpihak ke rakyat. Apalagi soal perempuan, sangat jarang mereka fokus pada isu itu,” katanya.
Selain itu, Stevi menilai ruang solidaritas juga minim.
“Harusnya ruang aksi ini juga menyuarakan kekerasan negara yang terjadi, seperti di Monokwari di mana perempuan mendapatkan intimidasi aparat. Tapi itu tidak diberikan kesempatan,” ujarnya.
Meski kecewa, baik Rasera Project maupun Perempuan Mahardhika menegaskan tetap melanjutkan perlawanan rakyat.
“Kami akan melakukan aksi damai sebagai respon tanpa tendensi perusakan fasilitas. Ini penting untuk terus menyuarakan isu-isu yang bisa direalisasikan oleh pemangku kebijakan,” tegas Aulia.
Stevi pun memastikan organisasinya akan menyoroti persoalan pekerja perempuan di sektor informal.
“Banyak perempuan di Palu yang tidak mendapat upah layak, bahkan di bawah UMR. Pajak naik, upah turun, itu tidak adil. Rakyat harus mencari cara sendiri untuk bertahan hidup,” tutupnya.