Indeks

WALHI Sulteng Ingatkan Ancaman Bencana Besar di Pesisir Palu–Donggala

Wiwin mengawali pernyataannya dengan menyampaikan dukacita dan solidaritas terhadap warga Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh yang baru saja diterjang banjir dan longsor

WALHI Sulteng Ingatkan Ancaman Bencana Besar di Pesisir Palu–Donggala
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulteng, Wiwin Matindas/Sumber: Istimewa

PALU, Rajawalinet.co — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah kembali mengingatkan potensi bencana ekologis besar yang mengancam pesisir Palu–Donggala akibat ekspansi industri ekstraktif dan masifnya deforestasi yang terus berlangsung. Peringatan itu disampaikan Direktur WALHI Sulteng, Wiwin Matindas, melalui pernyataan resmi pada Rabu, 3 November 2025.

Wiwin mengawali pernyataannya dengan menyampaikan dukacita dan solidaritas terhadap warga Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh yang baru saja diterjang banjir dan longsor. Menurutnya, bencana yang menewaskan ratusan warga dan memaksa lebih dari 150 ribu orang mengungsi itu tidak bisa disebut sebagai fenomena alam biasa.

“Ini akumulasi dari kebijakan keliru, ekspansi industri ekstraktif, dan pembiaran kerusakan lingkungan selama bertahun-tahun,” tegasnya.

Ia menilai Indonesia kini berada di titik kritis akibat pola eksploitasi yang semakin masif. Sulawesi Tengah, kata Wiwin, berpotensi menghadapi tragedi serupa jika pemerintah tidak segera mengambil langkah pembenahan serius. Ia merujuk data SIMONTINI 2024 yang mencatat bukaan lahan mencapai 8.356 hektar akibat deforestasi dan perampasan ruang hidup yang dipicu industri nikel, pertambangan, perkebunan sawit skala besar, hingga proyek pangan nasional.

“Tinggal menunggu waktu jika pola eksploitasi ini terus berlangsung,” ucapnya.

Di wilayah pesisir Palu–Donggala, kerusakan lingkungan sudah terlihat nyata setiap musim hujan. Warga di Loli, Watusampu, hingga Buluri berulang kali berhadapan dengan banjir dan luapan material galian C yang menutup jalur nasional dan mengganggu aktivitas harian. Wiwin menyebut situasi ini sebagai bukti bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan telah menurun drastis.

Ancaman itu semakin menguat setelah peningkatan jumlah izin tambang pasir dan batuan. Data Momi ESDM 2024 mencatat 72 izin usaha pertambangan aktif dengan total luasan 1.445 hektar, sementara deforestasi pesisir Palu–Donggala mencapai 466 hektar.

“Angka-angka ini bukan sekadar data, tetapi ancaman nyata terhadap keselamatan rakyat,” ujar Wiwin.

Ia menilai negara tidak boleh hanya hadir ketika bencana sudah terjadi. Pemerintah, katanya, harus membangun komitmen jangka panjang untuk memulihkan ekosistem pesisir dan menghentikan model pembangunan yang merusak.

“Keselamatan rakyat tidak boleh menjadi catatan kaki dalam agenda pembangunan,” katanya menegaskan.

Dalam pernyataannya, Wiwin meminta pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah pemulihan. Ia mendesak penghentian sementara seluruh aktivitas tambang di pesisir Palu–Donggala, penataan ulang wilayah kelola rakyat sebagai penopang keselamatan ekologis, serta penegakan hukum terhadap korporasi yang terbukti merusak lingkungan. Ia juga menyoroti pentingnya perlindungan terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan masyarakat adat yang selalu menjadi pihak paling terdampak ketika bencana terjadi.

“Bencana ekologis adalah alarm nasional. Kita tidak bisa terus berjalan dengan model pembangunan yang menempatkan rakyat di urutan terakhir. Keselamatan rakyat harus menjadi prioritas,” tutupnya.

error: Content is protected !!
Exit mobile version