WALHI Sulteng Desak Pemprov Sulteng Tindaki Tambang

Menaggapi kejadian ini, Kampainer WALHI Sulteng, Wandi mendesak agar Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah untuk segera mengevaluasi seluruh tambang emas yang beroperasi di Poboya.

WALHI Sulteng Desak Pemprov Sulteng Tindaki Tambang
Kampainer WALHI Sulteng, Wandi/Sumber: Istimewa

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah memberikan tanggapannya atas insiden longsor longsor di titik bekas area tambang manual dalam dalam kawasan PT Macmahon—salah satu perusahaan perambangan emas naungan PT. Bumi Resources Mineral Tbk (BRMS). Insiden ini terjadi di Poboya pada Rabu, (3/9/2025).

Menaggapi kejadian ini, Kampainer WALHI Sulteng, Wandi mendesak agar Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah untuk segera mengevaluasi seluruh tambang emas yang beroperasi di Poboya.

“Mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah segera melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap izin – izin pertambangan emas yang saat ini tengah beroperasi di Poboya yang diketahui pertambangan emas menggunakan metode terbuka dan bawah tanah,” kata Wandi pada Jumat, (5/9/2025).

Desakan ini didasari sebab kondisi geomantik Kota Palu yang berada di atas patahan sesar Palu Koro. Selain itu, bencana seperti longsor dan banjir di dalam kawasan pertambangan emas juga menjadi pertimbangan atas desakan ini.

Sebagai catatan, PT. MMI beroperasi sejak 2023 seluas 20 hektar dengan metode penambangan terbuka dan bawah tanah. Akibat metode ini, Wandi khawatir aktivitas tersebut dapat memicu patahan aktif kembali.

“Metode ini sangat mengkhawatirkan karena wilayah lembah Palu yang berada tepat di atas sesar Palu-Koro tergolong zona I, dimana patahan aktif dalam sistem busur dan tepian benua, patahan ini merupakan salah satu dari 122 patahan aktif di Indonesia,” tegas Wandi.

Selain kondisi geomantik, ia juga menambahkan persoalan bencana ekologis yang bisa mengancam masyarakat di lingkar tambang.

“Longsor ini memberikan dampak langsung maupun tidak langsung pada masyarakat yang bermukim di lingkar tambang, diduga hilangnya akses terhadap air bersih, kerusakan lingkungan dan polusi udara hingga wilayah kelola rakyat yang semakin kritis,” tambah Wandi.

Lebih lanjut, Wandi menambahkan jika peristiwa ini menambah daftar panjang bencana ekologis di Kota Palu. Hal ini diduga atas lemahnya pengawasan dan pemantauan pemerintah.

“Pengawasan dan pemantauan sebenarnya telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang mengamanatkan pemerintah melakukan pengawasan dan penegak hukum terhadap pelaku perusak lingkungan,” tambahnya.

error: Content is protected !!