Tiga WALHI Sulawesi Tolak Revisi Perpres Energi

Penolakan tersebut mereka sampaikan dalam konferensi pers bersama pada Selasa, 25 November 2025. Para ketua WALHI kompak menilai revisi Pasal 3 ayat 4 sebagai “kemunduran komitmen negara” terhadap energi bersih dan upaya merespons krisis iklim.

Tiga WALHI Sulawesi Tolak Revisi Perpres Energi
Direktur WALHI Sulteng (kanan), Sultra (tengah) dan Sulsel (kiri) dalam konferensi pers Aliansi Sulawesi/Sumber: Istimewa

PALU, Rajawalinet.co — Aliansi Sulawesi Tanpa Polusi yang beranggotakan WALHI Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara menolak revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan. Mereka menilai perubahan aturan itu justru memperluas ruang penggunaan batu bara bagi kawasan industri, terutama industri nikel yang mendominasi Pulau Sulawesi.

Penolakan tersebut mereka sampaikan dalam konferensi pers bersama pada Selasa, 25 November 2025. Para ketua WALHI kompak menilai revisi Pasal 3 ayat 4 sebagai “kemunduran komitmen negara” terhadap energi bersih dan upaya merespons krisis iklim.

Ketua WALHI Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, mengatakan industri nikel di berbagai wilayah Sulawesi masih bergantung penuh pada PLTU batu bara dan menimbulkan dampak ekologis serius.

“Penggunaan batu bara di kawasan industri nikel jelas bertentangan dengan komitmen penurunan emisi dan target global menahan laju pemanasan bumi,” tegas Sunardi.

Ia mengingatkan bahwa WALHI telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait pengecualian PLTU captive dalam Perpres 112. Putusan perkara yang berkaitan dengan kawasan industri SEI–GNI di Morowali Utara dijadwalkan keluar pada 5 Desember. “Revisi ini tidak sejalan dengan kebutuhan mendesak untuk menghapus batu bara dari rantai pasok energi industri,” ujarnya.

Ketua WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, menilai ketergantungan industri nikel terhadap batu bara sudah berada pada tingkat “mengkhawatirkan”. Ia menyebut kapasitas pembangkit untuk industri nikel mencapai 21 GW dan sekitar 80 persen masih berbahan bakar batu bara.

“Ini kontradiktif dan hipokrit. Produk energi masa depan mestinya tidak dihasilkan dari sumber energi yang mencemari,” kata Amin.

Ia mengkritik pemerintah yang dalam draf revisi menghapus batas waktu pembangunan PLTU setelah 2050. Menurutnya, kebijakan itu membuka pintu pembangunan PLTU tanpa henti.

“Dengan model revisi ini, pembangunan PLTU bisa terus dilakukan tanpa batas waktu, bahkan ‘sampai kiamat’,” ungkapnya.
Amin juga menolak konsep PLTU hibrida batu bara–biomassa yang ia nilai hanya menjadi “tameng mempertahankan PLTU tanpa kontrol publik”.

Ketua WALHI Sulawesi Tenggara, Andi Rahman, menyoroti dampak langsung PLTU terhadap warga lingkar industri. Ia menyebut ribuan masyarakat mengalami gangguan pernapasan akibat polusi.

“Di satu wilayah terdampak di Sultra saja, lebih dari 5.000 warga mengalami gangguan pernapasan akibat PLTU batu bara. Di Sulteng ada 1.750 kasus,” katanya.

Menurut Andi, hilirisasi nikel yang dipromosikan sebagai penopang energi masa depan justru memperlihatkan paradoks besar.

“Energi bersih yang dihasilkan dengan energi kotor itu ironi. Tidak ada satu pun PLTU batu bara yang tidak menghasilkan kerusakan ekologis dan pelanggaran HAM,” tegasnya.

Aliansi Sulawesi Tanpa Polusi mendesak Presiden Prabowo Subianto menghentikan pembahasan revisi Perpres 112/2022 dan mencabut seluruh pasal pengecualian PLTU industri.

“Ini bukan sekadar isu lingkungan. Ini persoalan hak hidup masyarakat di lingkar industri nikel,” tutup Andi.

error: Content is protected !!