Perempuan Adat Watutau Suarakan Perlawanan Penguasaan Lahan Secara Sepihak

“Lebih baik putih tulang berkanjang tangan, daripada putih mata dijajah Bank Tanah”

Perempuan Adat Watutau Suarakan Perlawanan Penguasaan Lahan Secara Sepihak
Perwakilan perempuan adat Watutau saat menghadiri konferensi pers di Kantor Walhi Sulteng/Sumber; Adyaksa

SULTENG, Rajawalinet.co – Suara perlawanan warga Desa Watutau, Kabupaten Poso, menggema dalam konferensi pers yang digelar WALHI Sulawesi Tengah pada Senin (21/7/2025). Bertajuk “Stop Kriminalisasi Pejuang Agraria Watutau oleh Badan Bank Tanah”, konferensi ini menjadi wadah bagi masyarakat adat, kaum perempuan, dan keluarga korban kriminalisasi untuk menyampaikan isi hati mereka yang selama ini terbungkam.

Linda Parandengan, tokoh adat Desa Watutau, menegaskan bahwa perjuangan mempertahankan tanah bukan untuk kepentingan ekonomi semata, melainkan demi keberlangsungan hidup generasi mendatang.

“Kami masyarakat Desa Watutau mempertahankan tanah kami bukan supaya kami kaya. Kami hanya ingin bisa makan, bisa hidup, dan bisa menyekolahkan anak cucu kami. Bukan untuk punya ini itu,” ujar Linda lantang.

Ia mempertanyakan tindakan Bank Tanah yang menuduh warga mencuri di tanah mereka sendiri hanya karena mencabut plang yang bertuliskan larangan menggarap lahan tanpa izin Bank Tanah.

“Itu tanah kami, kenapa kami dianggap mencuri? Sebagai lembaga adat, yang mencuri justru Bank Tanah. Harusnya kami yang memberikan denda ke mereka, bukan mereka yang memanggil dan menuduh kami!” tegasnya.

Linda juga mengingatkan pemerintah dari tingkat kabupaten hingga pusat agar tidak melupakan siapa yang membuat mereka bisa duduk di kursi kekuasaan.

“Kalian duduk sebagai raja dan ratu bukan karena kalian sendiri, tapi karena masyarakat kecil. Maka pikirkanlah kami. Kami, sebagai lembaga adat, menyatakan tidak akan pernah melepaskan tanah kami kepada Bank Tanah,” kata Linda

Dece Poba, perwakilan perempuan Watutau, menyampaikan keresahan yang sama. Ia menyebut Bank Tanah telah bertindak layaknya pencuri yang masuk tanpa izin.

“Mereka seperti pencuri. Mereka tidak menutup pintu rumah kami, tapi langsung masuk dan ambil. Kami perempuan Watutau tetap mempertahankan tanah kami, apalagi tanah itu sudah menghasilkan,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya lahan produktif bagi perempuan desa yang bertanggung jawab atas kebutuhan keluarga, termasuk pendidikan anak.

“Kalau Bank Tanah ambil tanah itu, kami perempuan harus hidup dari mana? Kami masih harus bayar sekolah anak-anak kami. Tolong, jangan ambil tanah kami. Kami hidup dari tanah yang kami miliki,” ujarnya penuh harap.

Sementara itu, Cica Abe, istri dari tersangka Christian Toibo, angkat bicara. Ia tidak hanya berbicara sebagai istri korban kriminalisasi, tapi juga sebagai ibu dan warga yang kehilangan rasa aman di tanah sendiri.

“Kenapa saya harus jadi tamu di rumah sendiri? Itu lucu. Ketika suami saya dituduh dan ditahan, bagaimana dengan rumah tangga kami? Bagaimana anak-anak sekolah?” ungkapnya.

Ia juga menceritakan bagaimana anaknya bertanya soal kemungkinan sang ayah dipenjara.

“Saya bilang ke anakku, ‘Apa yang Bapak makan di penjara, itu juga yang kita makan di rumah.’ Tapi saya tahu, Tuhan Yesus itu baik. Kami diberi ujian, artinya kami mampu menghadapinya,” tuturnya.

Cica Abe menutup dengan pernyataan tegas mewakili perempuan adat Watutau untuk tetap mempertahankan tanah yang sudah diwariskan secara turun-temurun pemberian nenek moyang mereka.

“Lebih baik putih tulang berkanjang tangan, daripada putih mata dijajah Bank Tanah.” pungkas Cica Abe.