Panen Sawit di Era Diduga Rugikan Negara Puluhan Miliar

Pemerintah Desa Era memperpanjang praktik ilegal yang sebelumnya dilakukan oleh PT RAS, Kejati Sulteng diminta turun tangan

Panen Sawit di Era Diduga Rugikan Negara Puluhan Miliar
Alan Billy Graham saat berorasi di depan Kantor Kejati Sulteng/Sumber: Istimewa

PALU, Rajawalinet.co — Kebijakan Kepala Desa Era yang diduga menginstruksikan panen kelapa sawit di atas lahan warga pasca-hengkangnya PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS) tak hanya memicu konflik agraria, tetapi juga membuka potensi kerugian negara dalam skala besar.

Alan Billy Graham, salah satu tokoh masyarakat Desa Era yang paling getol mengkritik PT RAS hingga hengkang menilai tindakan pemerintah desa memperpanjang praktik ilegal yang sebelumnya dilakukan PT RAS, mulai dari penguasaan kebun tanpa dasar hukum hingga pembiaran panen sawit di atas lahan bermasalah.

“Setelah perusahaan keluar, seharusnya lahan dikembalikan ke pemilik sah. Tapi yang terjadi justru Kepala Desa menginstruksikan panen di semua area, termasuk lahan bersertifikat,” kata Alan, Selasa (16/12/2025).

Menurut Alan, perintah tersebut membuat sawit tetap dipanen tanpa kejelasan hukum, sementara pemilik lahan sah justru dilarang mengelola tanahnya sendiri. Aktivitas panen berlangsung setiap hari dengan volume besar dan melibatkan pemanen dari luar desa hingga luar provinsi.

“Ini bukan panen rakyat. Ini panen liar yang dibiarkan aparat desa,” tegasnya.

Alan menyebut berdasarkan data dua lokasi timbangan di Desa Era dan Desa Peleru, volume panen mencapai sekitar 100 ton per hari. Dengan harga rata-rata Rp2.500 per kilogram, nilai sawit yang keluar dari wilayah itu mencapai Rp250 juta per hari.

“Kalau dibiarkan dua bulan, nilainya sudah miliaran. Negara dirugikan karena aktivitas ini tidak tercatat, tidak dikenai pajak, dan tidak masuk skema resmi apa pun,” ujarnya.

Ia juga mengungkap dugaan adanya upeti Rp250 ribu per orang atau kelompok panen yang dipungut oleh oknum tertentu, serta dugaan keterlibatan aparat penegak hukum yang membekingi aktivitas tersebut.

“Ada oknum yang membacking dan menarik setoran. Itu ada saksinya,” kata Alan.

Selain panen ilegal pasca-keluarnya PT RAS, Alan menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang tumpang tindih izin sawit di Morowali. Ia menilai pembiaran pemerintah desa justru memperpanjang rantai kerugian negara.

Ia membeberkan, sejak 2006 PT RAS menguasai lahan yang tumpang tindih dengan HGU PT Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV). Perusahaan swasta itu memanen sawit tanpa membayar sewa hingga 2023.

“Nilai sewa yang seharusnya masuk ke negara mencapai Rp79,4 miliar. Belum termasuk kerugian investasi PTPN XIV sekitar Rp12 miliar,” jelas Alan.

Negara juga kehilangan potensi manfaat ekonomi sekitar Rp6,6 miliar per tahun sejak 2009 akibat lahan HGU yang tak bisa dimanfaatkan. Di sisi lain, PT RAS tercatat mengelola 6.110 hektare kawasan hutan tanpa izin, yang menghilangkan penerimaan negara dari dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

“Sekarang, setelah perusahaan pergi, praktik ilegal itu tidak berhenti. Kepala Desa justru melanggengkannya lewat panen sawit massal tanpa dasar hukum,” tegas Alan.

Ia mendesak aparat penegak hukum mengusut peran Kepala Desa Era, Sekretaris Desa, dan Ketua BPD, termasuk dugaan penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada kerugian negara dan potensi konflik horizontal.

“Ini bukan cuma konflik warga. Ini soal uang negara dan pembiaran kejahatan lingkungan,” katanya.

Merespon hal tersebut, Alan sebelumnya telah mengadukan hal tersebut kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah pada Senin, (15/12/2025) dengan aduan adanya kerugian negara yang ditimbulkan dari aktivitas panen kelapa sawit di desanya yang telah diterima oleh pihak Kejati Sulteng.

Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Desa Era dan pihak terkait belum memberikan keterangan resmi.

error: Content is protected !!