DONGGALA, Rajawalinet.co — Kepala Desa Loli Oge, Gatot A. Lanipi, membantah tuduhan penyalahgunaan dana bagi hasil tambang, dana Corporate Social Responsibility (CSR), serta dugaan keterlibatan dalam praktik mafia tanah. Bantahan itu ia sampaikan menyusul aksi unjuk rasa warga di depan Kantor Desa Loli Oge, Kamis (18/12/2025).
Gatot menegaskan penggunaan dana bagi hasil telah mengikuti aturan dan berada dalam pengawasan instansi terkait. Ia menyebut dana tersebut justru menopang pembangunan kantor desa dan program kesejahteraan warga.
“Awalnya saya terima Rp25 juta untuk periode 2021–2022, tapi cair di 2023. Setelah saya telusuri ke Dinas Pendapatan Donggala, nilainya berubah menjadi Rp552 juta. Ini tidak bisa ditutup-tutupi,” kata Gatot.
Ia mengaku berkoordinasi dengan camat dan Dinas BMD sebelum membelanjakan dana tersebut. Menurutnya, desa menerapkan skema pembagian 70 persen untuk kegiatan fisik dan 30 persen untuk nonfisik.
“Pembagiannya jelas 70-30. Tujuh puluh persen untuk fisik, tiga puluh persen untuk kesejahteraan perangkat desa, pegawai syara, dan lembaga desa. Dokumennya lengkap,” ujarnya.
Pada 2024, Desa Loli Oge kembali menerima dana bagi hasil sebesar Rp391 juta. Gatot mengatakan dana itu digunakan untuk melanjutkan pembangunan kantor desa yang belum rampung.
“Pekerjaan kantor desa belum 100 persen, jadi kami lanjutkan. Pola pembagiannya tetap sama,” jelasnya.
Ia juga menyebut pada tahun berikutnya desa memperoleh alokasi dana bagi hasil sekitar Rp823 juta. Sebelum digunakan, dana tersebut telah melalui proses audit.
“Kami sudah diaudit sebelum belanja. Saya sampaikan juga sudah waktunya desa punya mobil operasional karena berada di lingkar tambang,” kata Gatot.
Menurutnya, sebagian dana yang telah cair digunakan langsung untuk kebutuhan warga, termasuk pembelian lebih dari tujuh ton beras.
“Hampir 700 kepala keluarga menerima manfaat. Semua dapat, tidak ada yang dibeda-bedakan,” tegasnya.
Terkait tudingan ketidaktransparanan dana CSR, Gatot menyebut informasi penggunaan anggaran telah disampaikan secara terbuka kepada masyarakat.
“Kami pasang baliho penggunaan DD dan ADD sesuai arahan Dinas PMD. Soal CSR, saya selalu sampaikan ke warga, termasuk saat ada bantuan duka,” ujarnya.
Ia menjelaskan dana CSR digunakan untuk berbagai keperluan warga, mulai dari bantuan kedukaan, operasional RT, pelatihan kader posyandu, hingga kegiatan kepemudaan dan keagamaan.
“RT tidak masuk ADD atau DD, jadi operasionalnya dari dana bagi hasil. Ada warga meninggal, kami beri bantuan duka. Pelatihan posyandu juga dari dana ini,” jelasnya.
Menanggapi tuduhan mafia tanah, Gatot meminta pihak yang merasa dirugikan membuktikan klaim kepemilikan lahan secara hukum.
“Jangan asal klaim. Buktikan dikuasai sejak tahun berapa, ada tanamannya atau tidak. Kalau memang ada tanah dijual tanpa sepengetahuan pemilik, silakan lapor. Sampai hari ini tidak ada laporan,” tegasnya.
Gatot juga menegaskan PT Wadi Al Aini bukan perusahaan baru. Ia menyebut perusahaan tersebut telah berizin sejak 2005 dengan nama sebelumnya CV Loli Munta.
“PT Wadi Al Aini ini perusahaan lama. Izinnya sejak 2005. Jangan dipelintir seolah-olah baru masuk,” katanya.
Ia mengakui jumlah perusahaan tambang di Desa Loli Oge saat ini mencapai lima perusahaan, sebagian merupakan perusahaan lama yang berganti nama.
“Saya sendiri kaget, tiba-tiba muncul nama baru di sistem. Ternyata perusahaan lama yang ganti nama,” ujarnya.
Terkait aksi demonstrasi, Gatot menyatakan tidak melarang warga menyampaikan aspirasi selama dilakukan secara tertib.
“Demo itu bagian dari demokrasi. Silakan menyampaikan pendapat, tapi jangan anarkis atau merusak fasilitas. Kalau merusak, itu sudah urusan hukum,” tegasnya.
Ia pun membantah keras tudingan bermain dengan perusahaan tambang.
“Kalau ada yang bilang saya terima amplop atau bermain dengan perusahaan, silakan buktikan,” pungkas Gatot.











