PALU, Rajawalinet.co – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Palu kembali menyuarakan kritik terhadap program Bus Rapid Transit (BRT) Trans Palu. Sekretaris Cabang IMM Palu, Naim, menilai program transportasi itu sarat kepentingan politik dan tidak memiliki urgensi yang jelas.
Dalam keterangannya, Rabu (30/7/2025), Naim mengatakan bahwa sejak 2024, Pemerintah Kota Palu telah menggelontorkan anggaran besar dari APBD untuk mendanai program BRT. Namun menurutnya, pengeluaran itu justru menjadi pemborosan.
“Ketika pemborosan anggaran terjadi, disitulah pajak menghantui,” tegasnya.
IMM Palu, kata Naim, akan terus menjaga sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ia mengingatkan agar mahasiswa tetap memainkan peran sebagai agen kontrol sosial dan tidak larut dalam sikap apatis maupun skeptis.
“Sebagai insan akademisi, kami menolak keras apatis dan skeptis terhadap program ini, serta mencegah segala upaya yang ingin membungkam akal sehat dan nalar kritis kami,” ujarnya.
Berdasarkan kajian IMM, dana yang dialokasikan melalui APBD Perubahan 2024 dan APBD 2025 untuk BRT, termasuk dalam RKPD dan biaya operasional bulanan, telah mencapai Rp1,8 miliar per bulan. Total anggaran sejak program ini dimulai disebut telah menyentuh angka puluhan miliar.
Naim menyebut pada awalnya masyarakat antusias menggunakan layanan karena digratiskan. Namun, seiring waktu, minat itu menurun drastis. “Awalnya peminat Bus Trans Palu ramai karena gratis, namun secara signifikan menurun dan akhirnya sepi laksana kuburan,” ucapnya.
Kebijakan Pemkot yang mewajibkan ASN menaiki BRT minimal dua kali seminggu juga disorotnya. Ia menilai langkah itu tidak menyelesaikan masalah inti, yakni efektivitas dan efisiensi anggaran.
“Saya pikir ini bukan solusi yang konkret, karena pemborosan anggaran konsisten mencaci-maki, sementara kursi megah bus kurang diduduki,” sindirnya.
Ia juga mencurigai adanya kepentingan tersembunyi di balik proyek tersebut. “Saya sebagai mahasiswa mendalami serta mengindikasikan bahwa ada kepentingan aliansi di balik program ini,” ungkap Naim.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan keberlanjutan program yang biaya operasionalnya jauh lebih besar dibandingkan pendapatannya. “Bagaimana mungkin dengan anggaran operasional bulanan sebesar Rp1,8 miliar disandingkan dengan hasil keringat Bus Trans Palu sebesar Rp100–400 juta, tetapi program ini terus-menerus dilakukan?” tegasnya.
Ia juga menyinggung waktu peluncuran program, yang dinilainya bertepatan dengan momentum politik menjelang Pilkada Palu.
“Artinya, program BRT Bus Trans Palu ini tidak benar-benar siap, melainkan sebatas tipu daya untuk kepentingan sepihak,” pungkasnya.