
SULTENG, Rajawalinet.co – Suasana di halaman Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah, Kamis (10/7/2025), mendadak panas dan riuh. Empat mantan anggota DPRD—Burhanuddin Hamzah, Aceng Lahay, Abdul Salam Adam, dan Muhaimin tergabung dalam Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAK) Sulawesi Tengah, memimpin aksi massa sambil “meneriaki” Kejati Sulteng soal sederet kasus korupsi yang dinilai mangkrak.
Mereka menuntut penuntasan sejumlah kasus yang disebut-sebut masih mandek di tahap penyelidikan. Sorotan utama aksi ini antara lain pengadaan Chromebook di Kabupaten Poso, dugaan penyimpangan dana pembangunan RSUD Poso senilai Rp79 miliar, dugaan korupsi pembangunan rumah jabatan di Morowali Utara, hingga masalah legalitas PT CAS, kasus PT Rimbunan Alam Sentosa (anak usaha Astra Agro Lestari), penyalahgunaan dana PEN, bantuan sosial COVID-19 di Morowali Utara, dan kejanggalan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK Sulteng.
Muhaimin, eks anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, dengan lantang menuding Kejari Poso bermain mata dengan pemerintah daerah setempat.
“Ada dugaan konkret bahwa Kejari Poso bekerja sama dengan Bupati untuk mengamankan korupsi di Poso secara berjamaah. Kalau Kajari tidak dicopot, kerugian negara bisa lebih besar,” tegasnya di hadapan peserta aksi.
Sementara Abdul Salam Adam menyoroti secara khusus pengadaan Chromebook pada Dinas Pendidikan Poso tahun anggaran 2022 yang diduga sarat mark-up harga dan spesifikasi abal-abal.
“Sekolah menerima barang tak sesuai spek, harga di-markup dua jutaan per unit. Kerugian negara sampai Rp4 miliar,” bebernya.
Burhanuddin Hamzah eks DPRD Poso 2 periode tak kalah keras menyoal pengelolaan dana PEN dan bansos COVID-19 di Morowali Utara yang menurutnya rawan korupsi.
“Belum lagi soal PT CAS yang diduga beroperasi tanpa legalitas. Ini semua potensi KKN yang rugikan daerah,” katanya.
Aceng Lahay menambah daftar kritik dengan menuding adanya motif finansial di balik opini WTP yang diberikan BPK Sulteng.
“Apakah ini dikejar demi insentif Rp50 miliar? Ini lucu. Dengan masalah RSUD Poso dan Chromebook saja, seharusnya Poso dapat predikat WDP,” ujarnya.
Menanggapi aksi demonstrasi itu, Asisten Intelijen Kejati Sulteng, Ardi, menerima massa audiens namun mengaku tak mendalami detail kasus yang dipersoalkan.
“Saya hanya tahu kulit luarnya saja. Bidang Pidsus lebih paham,” ujar Ardi. Namun hingga pertemuan bubar, pihak Pidsus tak kunjung hadir dengan alasan tengah menggelar ekspos perkara.
Sebelum membubarkan diri, Burhanuddin Hamzah menegaskan tuntutan agar Kejati Sulteng melakukan evaluasi besar-besaran, termasuk reformasi internal demi menjaga profesionalisme penegakan hukum.
“Jangan sampai kejaksaan jadi pelindung koruptor. Kami minta Kajati tegas!” seru Burhanuddin menutup pertemuan di ruang rapat bidang intelijen.