PALU,Rajawalinet.co – Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah menekan aparat kepolisian agar berani mengungkap kebenaran di balik sederet kematian warga sipil yang hingga kini belum menemukan kepastian hukum. Kepala Komnas HAM Sulteng, Livand Breemer, menilai publik tidak boleh terus-menerus menerima jawaban menggantung atas hilangnya nyawa seseorang.
“Setiap orang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya. Negara sudah menegaskannya dalam UUD 1945. Pertanyaannya sekarang, apakah aparat penegak hukum benar-benar menjalankan kepercayaan itu?” ujar Livand dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/12/2025).
Ia menyebut lembaganya menangani setidaknya lima pengaduan terkait dugaan pelanggaran Hak Hidup dengan indikasi kekerasan, pembunuhan, hingga penanganan hukum yang dianggap tidak wajar. Menurut Livand, waktu yang terus berjalan tanpa kejelasan justru memperkuat kesan ketidakseriusan aparat.
“Keadilan yang ditunda sama dengan keadilan yang diabaikan. Publik tidak butuh janji, publik butuh fakta hukum yang diuji di pengadilan. Hukum tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas, atau kabur di tengah jalan,” tegasnya.
Kasus kematian Salsabila Prawira atau Caca di Poso menjadi salah satu perhatian utama. Livand menyampaikan, ada dugaan eksploitasi seksual dan keterkaitan lokasi kejadian dengan peredaran narkotika, tetapi penyidikan masih belum membongkar seluruh kejanggalan yang ditemukan keluarga. Mereka terus menuntut kepastian sebab kematian Caca yang sampai hari ini belum terjawab.
Di Buol, kematian Serla Pangeran memantik desakan kuat dari masyarakat. “Kasus Serla tidak boleh hilang begitu saja. Warga menunggu keberanian polisi mengurai apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Livand.
Kematian Aryanto Kasukung di Tolitoli juga memunculkan pertanyaan publik. Hasil visum menunjukkan indikasi kekerasan, namun penyelesaiannya tersendat.
“Visum menunjukkan tanda-tanda kekerasan. Masyarakat bertanya, mengapa prosesnya seperti jalan di tempat? Transparansi hasil pemeriksaan saksi menjadi kewajiban, bukan pilihan,” katanya.
Tak kalah disorot, kematian Afif Siraju di Kota Palu yang hingga kini belum menemukan titik terang. “Jika pusat pemerintahan saja tidak mampu memastikan kepastian hukum, bagaimana dengan daerah lainnya? Afif seharusnya menjadi alarm untuk evaluasi menyeluruh, bukan sekadar catatan pinggir,” ucap Livand.
Sementara itu, penyelesaian kematian Rian Nugraha Harun atau Bekam di Banggai Kepulauan melalui keadilan restoratif dinilai mencederai rasa keadilan.
“Restorative justice dipakai untuk kasus dengan ancaman hukuman ringan. Lalu nyawa manusia kita ukur dengan kategori itu? Publik bertanya-tanya: ada apa di balik penyelesaian ini?” katanya.
Livand menyebut rangkaian kasus tersebut menjadi indikator sejauh mana reformasi Polri benar-benar berjalan.
“Reformasi tidak bisa berhasil kalau kasus-kasus kematian justru menjadi tabir gelap. Aparat di lapangan harus menjadi garda terdepan perubahan, bukan batu sandungan,” tegasnya.
Ia memahami penyelidikan kerap terhambat masalah teknis seperti minimnya saksi kunci dan keterbatasan bukti forensik. Namun, menurutnya, itu bukan alasan untuk berhenti mencari kebenaran.
“Jika ada kendala serius, tidak menutup kemungkinan diperlukan asistensi dari Mabes Polri. Yang penting, publik melihat ada kemauan menembus jalan buntu itu,” katanya.
Livand menutup dengan menekankan bahwa hukum harus hadir dalam tindakan nyata.
“Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tidak boleh berhenti pada kutipan undang-undang. Ia harus hidup dalam tindakan aparat. Negara wajib hadir, terutama ketika nyawa warganya melayang dengan penuh tanda tanya,” pungkasnya.











