Yayasan TIFA Soroti Kekerasan terhadap Jurnalis di Sulteng

“Kekerasan terhadap jurnalis tak hanya datang dari negara, tetapi juga kelompok non-negara, termasuk keamanan perusahaan,”

Yayasan TIFA Soroti Kekerasan terhadap Jurnalis di Sulteng
Direktur Nasional Yayasan TIFA, Oslan Purba saat menyampaikan sambutannya. FOTO: Tangkapan layar Youtube TIFA Fondatio

JAKARTA, Rajawalinet.co – Direktur Nasional Yayasan TIFA, Oslan Purba, menyoroti kondisi demokrasi Indonesia yang dinilainya mengalami kemunduran, terutama karena dominasi aktor keamanan yang memperburuk situasi kebebasan pers.

“Indonesia merupakan salah satu dari lima besar negara demokrasi di dunia, tetapi kini tanda tanya besar muncul terhadap arah demokrasi kita,” ujar Oslan saat membuka Forum Konsultasi Nasional: Diseminasi Laporan Asesmen Kekerasan Jurnalis di Jakarta, Selasa (5/8/2025).

Dalam forum itu, Yayasan TIFA memaparkan hasil riset bersama Populis mengenai kekerasan terhadap jurnalis di tiga wilayah—Aceh, Sulawesi, dan Papua. Di Sulawesi, temuan menunjukkan kekerasan meningkat di tengah konflik industri ekstraktif nikel.

“Kekerasan terhadap jurnalis tak hanya datang dari negara, tetapi juga kelompok non-negara, termasuk keamanan perusahaan,” tambah Oslan.

Laporan bertajuk “Berita di Bawah Bayang Ancaman” mencatat kekerasan fisik saat peliputan demonstrasi dan proyek strategis nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi, serta pelecehan seksual. Aparat kepolisian, TNI, satpam perusahaan, bahkan rekan kerja disebut sebagai pelaku dominan.

Namun, mayoritas kasus tidak dilanjutkan secara hukum. Beberapa hanya diselesaikan lewat mekanisme etik internal, dan selebihnya menguap begitu saja.

TIFA juga mencatat adanya tekanan terhadap pers mahasiswa dan intervensi pemberitaan oleh kampus maupun pejabat daerah. Lemahnya jalur pengaduan dan tekanan struktural membuat para jurnalis kerap tak punya ruang untuk mencari keadilan.

Salah satu korban, jurnalis senior asal Palu berinisial S, mengungkapkan dirinya dihina saat wawancara oleh Direktur Lalu Lintas Polda Sulteng hanya karena menggunakan ponsel untuk merekam.

“Saya dikatai pakai HP Cina, diminta ganti alat liputan, seolah saya bukan jurnalis profesional,” ujarnya. Meski sudah mendapat permintaan maaf, ia tetap melaporkan kejadian itu ke Mabes Polri sebagai bentuk perlawanan simbolik.

Kasus lainnya menimpa jurnalis dari Poso berinisial YL. Saat meliput kegiatan perusahaan PLTA, alat rekamnya dimatikan paksa.

“Saya tidak diizinkan meliput, padahal saya sudah pasang ID,” kata YL. Setelah kejadian itu, aksesnya ke narasumber dari kepolisian langsung tertutup.

Yayasan TIFA mendesak adanya sistem perlindungan jurnalis yang kuat, termasuk jalur aduan yang mudah diakses dan responsif. Mereka menekankan, tanpa jaminan keamanan, jurnalisme tak akan mampu menjalankan fungsi demokratisnya secara utuh.

error: Content is protected !!