MOROWALI UTARA, Rajawalinet.co – Ratusan hektare sawah di Desa Bunta dan Desa Tompira, Morowali Utara, terendam banjir sejak Maret 2025. Warga menuding penyebabnya aktivitas PT Stardust Estate Investment (SEI) yang menimbun Daerah Aliran Sungai (DAS) Lampi demi pembangunan smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).
“Air sungai meluap dan tidak bisa surut. Sungai Lampi sudah dialihfungsikan untuk pembangunan smelter oleh PT SEI,” tegas Alexander, Direktur LBH Morowali Utara, Selasa (2/9/2025).
Ia memaparkan, total kerugian petani mencapai lebih dari Rp3,8 miliar. “Satu hektare sawah berpotensi menghasilkan Rp16 juta sekali panen. Dengan 240 hektare yang tergenang, kerugiannya jelas sangat besar,” ujarnya.
Tak hanya sawah, sejumlah kos-kosan milik warga ikut tenggelam. Alexander menuturkan, banyak warga terancam gagal membayar kredit karena properti yang dijadikan agunan ikut terdampak.
“Investasi mereka bisa disita bank,” tambahnya.
Alexander menilai, dampak banjir ini bukan sekadar masalah ekonomi. “Dalam perspektif HAM, PT SEI berpotensi melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya. Aktivitas mereka bisa membuat petani kehilangan hak atas pangan,” ungkapnya.
Ia menuding perusahaan tidak pernah serius mencari solusi. “Sejak April kami sudah berulang kali berdialog, tapi yang datang hanya staf tanpa kewenangan. Bahkan, kehadiran Gubernur Anwar Hafid pun seperti diabaikan,” ujarnya.
Menurutnya, meski Gubernur Anwar dua kali turun langsung ke lokasi dan memerintahkan pembukaan timbunan, perusahaan tetap menutup aliran setelah kunjungan selesai. Ia juga mengkritik sikap Pemkab Morowali Utara yang dinilai tidak berbuat apa-apa sejak Maret.
“Sampai hari ini tidak ada perubahan di lapangan. Surat Gubernur dan desakan DPRD seperti angin lalu. Entah siapa sosok kuat di belakang perusahaan ini,” kata Alexander.
LBH Morut bersama warga kini menunggu Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Morowali Utara pada September.
“Masyarakat sudah ingin aksi protes. Kami tunda sampai RDP. Setelah itu, kemungkinan jalur hauling akan ditutup warga,” tegasnya.
Alexander menutup dengan desakan keras. “Perusahaan sebesar ini harus bertanggung jawab. Pemerintah daerah juga mesti berani membawa masalah ini ke pusat, karena yang melanggar amdal adalah industri, bukan masyarakat.”