Mahardhika Palu Desak Negara Serius Tangani Kekerasan

Koordinator Perempuan Mahardhika Palu, Stevi Rasinta Papuling, menegaskan bahwa peringatan 16 HAKTP bukan kegiatan seremonial.

Mahardhika Palu Desak Negara Serius Tangani Kekerasan
Perempuan Mahardhika Palu saat memperingati 16 HAKTP/Sumber: Istimewa

PALU, Rajawalinet.co — Perempuan Mahardhika Palu menggelar longmarch dan orasi di depan Kampus Universitas Tadulako pada 25 November untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP). Mereka menilai kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Tengah masih meluas dan belum mendapat penanganan memadai dari negara.

Koordinator Perempuan Mahardhika Palu, Stevi Rasinta Papuling, menegaskan bahwa peringatan 16 HAKTP bukan kegiatan seremonial. Menurutnya, aksi turun ke jalan setiap tahun menggambarkan situasi kekerasan yang tidak kunjung membaik.

“Setiap tahun kami turun ke jalan karena kekerasan terhadap perempuan tidak pernah berhenti. Bahkan kasusnya meningkat dan negara masih gagal memberikan perlindungan yang layak,” kata Stevi, Selasa (26/11/2025).

Ia menyebut pelaku kekerasan bisa berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat, akademisi, hingga orang terdekat korban. Perempuan dan anak dari keluarga miskin, lanjutnya, berada dalam posisi paling rentan karena terbatasnya akses terhadap layanan perlindungan.

Stevi juga menyoroti kondisi kerja buruh perempuan di kawasan industri Morowali. Perempuan Mahardhika bersama FSPMI menemukan beragam pelanggaran hak dasar selama kegiatan advokasi.

“Kami pernah mendapati buruh perempuan yang terpaksa menampung air AC selama berbulan-bulan hanya untuk kebutuhan toilet. Perusahaan tidak menyediakan fasilitas dasar yang manusiawi,” ujarnya.

Selain fasilitas yang tidak layak, pelecehan seksual di tempat kerja masih sering muncul tanpa mekanisme pelaporan aman. Tekanan ekonomi membuat banyak perempuan tetap bekerja meski berhadapan dengan risiko kekerasan berulang.

“Selama pemerintah memandang isu kekerasan hanya sebagai angka dalam laporan anggaran, perempuan tidak akan pernah benar-benar aman,” tegas Stevi.

Di sektor informal, pelanggaran hak maternitas seperti cuti melahirkan, cuti haid, dan akses kesehatan reproduksi hampir tidak terlihat karena ketiadaan regulasi yang melindungi pekerja perempuan.

Dalam aksinya, Perempuan Mahardhika juga menyoroti kekerasan seksual di lingkungan kampus. Mereka menilai banyak kasus disembunyikan oleh institusi pendidikan demi menjaga citra kampus.

“Kampus harusnya ruang aman. Tapi kenyataannya banyak korban dipaksa diam sementara pelaku dilindungi. Ini bentuk kekerasan struktural yang harus dihentikan,” tambah Stevi.

Puluhan anak muda ikut dalam longmarch tersebut, membawa poster dan menyerukan solidaritas perempuan muda untuk melawan kekerasan berbasis gender.

“Kami tidak akan berhenti bersuara. Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan kemanusiaan, bukan sekadar catatan birokrasi,” tutup Stevi.

error: Content is protected !!