
SULTENG, Rajawalinet.co — Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah menyuarakan keprihatinan atas aktivitas Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dinilai minim komunikasi publik dalam diskusi Penertiban Kawasan Hutan Berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 di Cafe Roa, Jumat, (18/7/2025). Mereka menilai, kurangnya sosialisasi terkait pelaksanaan perpres ini berpotensi memunculkan keresahan dan tafsir keliru di masyarakat.
Direktur Ekonesia Sulawesi Tengah, Azmi Sirajuddin, mengungkapkan bahwa dalam sepekan terakhir pihaknya mendapati adanya pemasangan plang informasi PKH di tiga titik, yakni Ngata Tompo (Kabupaten Sigi), Vatutela (Kota Palu), dan Taripa (Donggala)
“Pemasangan plang ini menimbulkan kecemasan di tingkat komunitas. Warga takut jika keberadaan mereka nanti dianggap ilegal dan berujung pada kriminalisasi,” kata Azmi dalam wawancara via whatsapp, Jumat (18/7/2025).
Menurut Azmi, kekhawatiran warga timbul karena belum ada informasi resmi yang disampaikan Satgas PKH sebelum memasuki wilayah-wilayah tersebut.
“Padahal seharusnya ada tahapan sosialisasi dan koordinasi yang jelas dengan pemerintah daerah, desa, dan masyarakat terdampak,” tegasnya.
Azmi menjelaskan bahwa tujuan Perpres 5/2025 sebenarnya positif, yaitu untuk melakukan penertiban dan penataan kawasan hutan. Namun, menurutnya, niat baik tidak cukup jika cara pelaksanaannya tidak mengedepankan keterbukaan.
“Satgas PKH mestinya mengedepankan prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, and Consent-Based) dalam setiap langkahnya. Ini standar internasional untuk menjamin hak-hak komunitas dalam pembangunan,” ujar Azmi.
Lebih lanjut, Azmi menyampaikan beberapa tuntutan dari LSM dan organisasi masyarakat sipil terkait PKH di Sulawesi Tengah. Pertama, mereka mendesak agar Satgas PKH segera mengadakan sosialisasi terbuka dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah provinsi, kabupaten, desa, dan perwakilan masyarakat.
“Kami juga mendorong adanya pertemuan resmi antara Satgas dan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa daerah tidak ditinggalkan dalam proses ini,” ujarnya.
Selain itu, berbagai LSM yang hadir dalam diskusi tersebut akan mengupayakan pertemuan dengan Forum Penataan Ruang (FPR) Sulawesi Tengah guna membicarakan kemungkinan perubahan status beberapa desa di dalam dan sekitar kawasan hutan.
“Banyak desa yang secara geografis dan administratif tumpang tindih dengan kawasan hutan. Mereka perlu diverifikasi dan kalau memungkinkan, statusnya diubah agar mendapatkan kepastian hukum,” kata Azmi.
Ia juga menyarankan agar dibentuk Forum Multi-Pihak Pembangunan Sulawesi Tengah yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat sipil. Forum ini diharapkan menjadi wadah diskusi untuk mencari solusi atas berbagai konflik pembangunan, termasuk soal PKH.
Terkait substansi Perpres 5/2025, Azmi menilai semangat regulasi tersebut sebenarnya sejalan dengan kepentingan lingkungan dan masyarakat. Namun, ia mengingatkan agar jangan sampai kebijakan yang dimaksudkan untuk kebaikan justru melahirkan ketidakadilan karena lemahnya pelaksanaan di lapangan.
“Penertiban kawasan hutan seharusnya bisa menyelesaikan konflik teritorial, mengurangi deforestasi dan emisi karbon, serta menjamin keadilan sosial-ekonomi bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan,” pungkasnya.