PALU, Rajawalinet.co— Plt Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah, Sultanisah, menegaskan bahwa penyelesaian konflik pertambangan di Desa Loli Oge hanya bisa dicapai jika hak atas tanah masyarakat dan izin perusahaan diperlakukan sebagai dua aspek berbeda. Ia menyampaikan itu setelah berdialog dengan massa aksi pada Senin (29/12/2025).
Sultanisah menilai akar persoalan bukan semata pada izin tambang, melainkan pada kepemilikan lahan yang sejak awal tidak melibatkan warga secara penuh.
“Persoalan pertama hak atas tanah. Bedakan itu. Hak atas tanah punya siapa? Masyarakat. Izin tadi itu dikeluarkan pemerintah. Kalau dikasih baku tabrak itu tidak ketemu” tegasnya.
Menurutnya, pembebasan lahan terdahulu memicu konflik karena warga pemilik tanah merasa tersisih dari proses pengambilan keputusan.
“Rupanya waktu pembebasan lahan itu secara sepihak. Tidak dilibatkan yang punya tanah,” ujar Sultanisah.
“Kalau dia mau menambang, dia bebaskan hak atas tanah. Itu dulu.”
Sultanisah juga menanggapi tuntutan pencabutan izin tujuh perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah itu. Ia meminta agar masyarakat memahami perbedaan status izin, terutama antara operasi produksi dan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
“Pisahkan. Mau dicabut tujuh-tujuh, beda casenya. Dua operasi produksi, lima WIUP,” jelasnya.
Ia memastikan WIUP belum melakukan aktivitas penambangan sehingga pencabutannya memerlukan payung hukum yang jelas.
“Potong saya punya tangan kalau mereka sudah beroperasi. Mereka belum beroperasi. Kalau mau dicabut, carikan saya aturannya WIUP bisa dicabut,” tegasnya.
Sultanisah menyampaikan Gubernur Sulawesi Tengah telah memerintahkan evaluasi seluruh perizinan tambang di Loli Oge, termasuk peninjauan dokumen lingkungan dan kesesuaian tata ruang.
“Sikap Pak Gubernur yang jelas; tidak sesuai ketentuan, cabut. Kemudian moratorium perizinan baru,” katanya.
“Kita dikasih waktu moratorium itu untuk mengevaluasi. Mana yang sudah tidak sesuai? Mana yang sudah merusak lingkungan?”
Ia menambahkan, penyelesaian persoalan izin tidak bisa mengabaikan status lahan serta proses relasi antara perusahaan dan masyarakat.
“Hak atas tanah itu urusan perusahaan dan masyarakat. Jangan semua ditarik ke ESDM,” tandasnya.
Sultanisah mengatakan pihaknya telah memanggil tujuh perusahaan untuk melakukan klarifikasi.
“Perintah Pak Gubernur sudah untuk mengevaluasi itu. Kami undang perusahaan-perusahaan ini. Kami tunggu klarifikasi mereka,” ujarnya.
Ia kembali mengingatkan bahwa konflik akan terus berulang jika tuntutan bercampur dan tidak dipilah sejak awal.
“Jangan dikasih baku tabrak-tabrak. Pisahkan dulu masalahnya, baru kita selesaikan,” tutupnya.











