PALU, Rajawalinet.co – Pembangunan jetty di Mamboro dan Taipa kembali menuai sorotan. Dua perusahaan pengelola jetty, PT Arasmamulya dan PT Muzo, ternyata belum mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Tengah, Agus Latjuba, menegaskan bahwa kedua perusahaan tambang pasir itu tidak diperbolehkan beroperasi sebelum mengurus izin resmi.
“Memang benar keduanya belum mengajukan izin PKKPRL. Ini aturan jelas, tanpa izin mereka tidak bisa beroperasi,” kata Agus saat ditemui di kantornya, Jumat (12/9/2025).
Agus mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Pasal 113 ayat 1 yang mewajibkan setiap pihak memiliki KKPRL sebelum memanfaatkan ruang laut.
“Kami juga sedang membentuk tim investigasi untuk mendalami aktivitas mereka,” tambahnya.
Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut DKP Sulteng, Rasyid, menambahkan lokasi jetty itu masih tercatat sebagai zona tangkap ikan dan kawasan pariwisata.
Di sisi lain, Ketua Rukun Nelayan Mamboro Barat, Akib Malik, menilai pembangunan jetty mulai merusak alur muara dan mengganggu nelayan.
“Kalau melihat nelayan itu memang terganggu. Arah muara makin mengecil ujungnya. Mestinya tetap besar seperti dulu, karena dari sana airnya keluar,” ujarnya, Sabtu (13/9/2025).
Ia mengungkapkan penyempitan muara membuat air pasang meluap ke perkebunan warga dan menyeret perahu nelayan. “Kasihan warga, kalau air kuala naik, sampai melompati bronjong dan masuk ke kebun. Perahu juga sering terseret, jadi nelayan tidak bisa melaut,” jelasnya.
Akib juga menyinggung soal kompensasi yang dinilai tidak transparan. “Ada yang terima Rp2 juta, ada yang Rp2,5 juta untuk tambatan perahu. Tapi tidak pernah dibicarakan di rapat, nelayan hanya dapat kabar sepihak,” katanya.
Meski PT Arasmamulya belum beraktivitas besar, Akib menilai komunikasi perusahaan dengan nelayan sangat minim.
“Harusnya semua nelayan dilibatkan, bukan hanya yang dekat dengan perusahaan. Kita ini satu rumpun, ada hubungan keluarga,” tegasnya.
Ia menambahkan, masyarakat menuntut dua hal utama: perbaikan tanggul dan bronjong di muara serta penanganan debu tambang.
“Kami hanya minta tanggul diperbaiki, bronjong ditinggikan, dan aliran air kuala dikembalikan seperti dulu. Kalau debu, mereka janji siram, tapi kita lihat nanti,” jelas Akib.
Akib mengingatkan jika keluhan tidak segera direspons, konflik bisa melebar. “Masalah ini tidak rumit, tapi bisa jadi rumit kalau tidak ada respon. Kalau belum ada izin, jangan tutup jalannya orang. Nelayan masih butuh lewat ke laut,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Palu, Mutmainah Korona, juga mendesak agar aktivitas jetty segera dihentikan.
“Pembangunan itu berpotensi merugikan masyarakat dan merusak lingkungan pesisir,” ucapnya.