Kerugian Keuangan Negara vs Kerugian Negara: Ahli Jelaskan Perbedaannya

BPK saat itu tidak melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu

Kerugian Negara Vs Kerugian Keuangan Negara
Gedung Kejaksaan Agung RI/Foto: Ist

JAKARTA – Profesor Dr. Drs. Soemardjijo, SE, AK, CA, BKP-C, seorang ahli keuangan negara khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang juga Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta, Dekan Fakultas Ekonomi Asean International University Kualalumpur-Malaysia menegaskan bahwa kebijakan pejabat negara atau menteri dapat dipidana jika terbukti memenuhi unsur pidana yang diatur dalam Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001.

Pernyataan ini disampaikan pada Jumat 22 November 2024 menyikapi kontroversi seputar penetapan tersangka kasus impor gula tahun 2015.

Menurut Prof. Soemardjijo, ada sejumlah ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam menentukan pidana, yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, serta harus didukung oleh minimal dua alat bukti sesuai KUHAP Pasal 184 ayat (1).

Beliau juga menyoroti perbedaan mendasar antara “kerugian keuangan negara” dan “kerugian negara”, yang sering kali menjadi sumber kebingungan di masyarakat.

“Kerugian keuangan negara adalah kerugian nyata yang melibatkan uang atau aset yang dirampok dari kas negara. Sementara itu, kerugian negara melibatkan potensi pendapatan yang hilang, seperti penyelundupan atau penghindaran pajak,” jelasnya.

Kasus Impor Gula: Kerugian Negara dalam Sorotan

Ahli menjelaskan, dalam kasus impor gula tahun 2015, kerugian negara dapat dihitung dengan metode real cost, yaitu perbedaan antara biaya impor oleh negara dengan biaya impor yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Selisih keuntungan yang diperoleh pihak swasta akibat kebijakan yang diduga melawan hukum inilah yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara.

Namun, ada pertanyaan publik terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2015-2017 yang tidak menyebutkan adanya kerugian negara. Menurut Prof. Soemardjijo, hal ini disebabkan BPK saat itu tidak melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atau audit investigatif sesuai mandat UU BPK Nomor 15 Tahun 2006.

Abuse of Power dan Proses Hukum

Terkait dugaan abuse of power oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penetapan tersangka, Prof. Soemardjijo menegaskan bahwa proses hukum Tipikor harus melalui mekanisme yang sangat hati-hati.

“Penetapan seseorang sebagai tersangka Tipikor melibatkan pengumpulan bukti yang valid dan relevan, serta masukan dari berbagai ahli. Tidak mungkin penyidik sembarangan dalam mengambil keputusan karena menyangkut hak asasi manusia,” ujarnya.

UU Tipikor sebagai Lex Specialis

Ahli menekankan bahwa UU Tipikor adalah lex specialis, yang memberikan dasar hukum khusus dalam penanganan kasus korupsi. Oleh karena itu, metode penghitungan kerugian negara yang digunakan APH sudah sesuai dengan penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor.

Penulis: AdillahEditor: Latifa Hubaib
error: Content is protected !!