JAKARTA – Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspos virtual untuk menyetujui 10 permohonan penyelesaian perkara dengan mekanisme Restorative Justice pada Rabu, (6/11/2024). Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara berfokus pada pemulihan hubungan antara korban dan pelaku melalui perdamaian.
Salah satu kasus diselesaikan melalui mekanisme ini adalah perkara Suparno alias Gondes bin Karso Lanjar dari Kejaksaan Negeri Blora. Suparno diduga melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Perkara ini bermula ketika Suparno, pada 22 Agustus 2024, mengambil sepeda motor Honda Supra Fit milik saksi Dapar diparkir di Dukuh Wotrangkul, Blora. Sepeda motor tersebut ditemukan dalam keadaan kunci kontak masih tertinggal. Suparno kemudian membawa sepeda motor tersebut ke rumahnya untuk digunakan sebagai alat berjualan pentol guna menghidupi keluarganya, termasuk anaknya sedang sakit hidrosefalus.
Akibat tindakan Suparno, saksi Dapar mengalami kerugian sekitar Rp4,5 juta. Namun, dalam proses mediasi dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Blora, Suparno mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Dapar, sebagai korban, menerima permintaan maaf Suparno dan meminta agar proses hukum terhadap Suparno dihentikan.
Kepala Kejaksaan Negeri Blora, M. Haris Hasbullah, bersama jajarannya kemudian mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Dr. Ponco Hartanto. Setelah mempelajari berkas perkara, Kepala Kejaksaan Tinggi sepakat dengan penghentian penuntutan tersebut, dan pengajuan ini disetujui oleh JAM-Pidum dalam ekspose digelar.
Selain kasus Suparno, terdapat 9 kasus lain juga disetujui untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Kasus-kasus tersebut melibatkan berbagai pelanggaran, mulai dari pencurian hingga penganiayaan. JAM-Pidum menekankan bahwa keputusan penghentian penuntutan ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain proses perdamaian telah dilakukan, pengakuan tersangka, serta permintaan maaf korban.
Menurut JAM-Pidum, langkah penghentian penuntutan ini sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, serta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022. Proses keadilan restoratif tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga menunjukkan bahwa keadilan bersifat humanis masih bisa diterapkan dalam penanganan perkara pidana di Indonesia.
“Penerapan keadilan restoratif ini adalah bagian dari upaya menghadirkan hukum lebih manusiawi, di mana solusi dicapai melalui musyawarah bisa memberikan manfaat lebih besar bagi semua pihak,” ujar Prof. Dr. Asep.
Dengan penghentian penuntutan ini, para tersangka diharapkan dapat belajar dari kesalahan mereka dan tidak mengulangi perbuatan serupa di masa mendatang. Masyarakat juga memberikan respons positif terhadap langkah ini, melihatnya sebagai bentuk keadilan lebih inklusif dan berkeadilan.