JAKARTA – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose virtual yang menyetujui 6 pengajuan penyelesaian perkara melalui mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif). Senin, 21 Oktober 2024.
Salah satu kasus yang mendapat persetujuan ini adalah perkara penadahan yang melibatkan Tersangka Fahrid Ramadhan alias Fahrid bin Niko dari Kejaksaan Negeri Konawe.
Kasus ini bermula pada minggu 12 Mei 2024, saat tersangka Fahrid diduga membeli sebuah sepeda motor curian milik korban, Tarsan alias Mono. Sepeda motor tersebut akhirnya ditawarkan di sebuah grup WhatsApp dengan harga Rp 3 juta oleh ipar tersangka, Alpandi.
Anak korban, Wahyu, mengenali motor tersebut dan menghubungi tersangka untuk memastikan keaslian motor.
Menyadari situasi ini, Kepala Kejaksaan Negeri Konawe, Dr. Musafir, S.H., S.P.d., M.H., bersama Kasi Pidum Tubagus Ankie, S.H., M.H., menginisiasi penyelesaian melalui keadilan restoratif.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui perbuatannya dan meminta maaf, yang kemudian diterima oleh korban. Atas dasar ini, Kepala Kejaksaan Negeri Konawe mengajukan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Dr. Hendro Dewanto, S.H., M.Hum., yang sependapat dan mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada JAM-Pidum. Permohonan ini disetujui dalam ekspose Restorative Justice.
Selain kasus Fahrid, JAM-Pidum juga menyetujui lima perkara lain untuk diselesaikan melalui keadilan restoratif, antara lain:
- Nursidin alias La Sidi bin La Hodo (Kejaksaan Negeri Muna) – Penganiayaan.
- Muflihun alias La Mopu bin Balidin (Kejaksaan Negeri Muna) – Penganiayaan.
- Rifan alias La Rifan bin La Halia (Kejaksaan Negeri Muna) – Penganiayaan.
- Fried Paulus Pesingkai, S.Kep (Kejaksaan Negeri Alor) – Penganiayaan.
- M. Daffa Al Aziz Hutagalung bin Okto A. Hutagalung (Kejaksaan Negeri Muaro Jambi) – Penganiayaan.
JAM-Pidum menyampaikan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif diberikan dengan beberapa pertimbangan, di antaranya tersangka telah meminta maaf, belum pernah dihukum, dan perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri diinstruksikan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020,” tegas Prof. Dr. Asep Nana Mulyana dalam Pernyataannya.