PALU – Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK) mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Poso untuk serius menangani kasus dugaan korupsi pembangunan bendungan irigasi Puna pada tahun anggaran 2022. Proyek ini dilaporkan menghabiskan dana negara hingga miliaran rupiah, namun hingga kini hasilnya belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Kasus ini terkesan mengendap di Kejari Poso karena hingga kini progresnya belum terlihat. Kami belum mengetahui sejauh mana hasil pengumpulan data dan keterangan,” ujar Koordinator AMAK, Muhlis kepada media ini. Selasa (13/08/2024)
Kepala Seksi Intelijen Kejari Poso, Reza, membenarkan bahwa pihaknya tengah menangani kasus tersebut.
“Benar, saat ini kami sedang melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) dan pengumpulan data (puldata),” jawab Reza dikonfirmasi usai menghadiri kegiatan di KPU Poso.
Ulis, sapaan akrab koordinator AMAK, menambahkan bahwa bendungan irigasi Puna belum lama selesai dibangun namun sudah amblas dihantam banjir. Bagian mercu bendungan hilang, dan diduga konstruksi bangunan tidak sesuai dengan spesifikasi teknik. Selain itu, umur beton yang belum mencapai waktu penggunaan optimal diduga menjadi penyebab utama kerusakan, karena proses pembangunan dipercepat untuk menghindari perpanjangan waktu proyek.
“Jika alasan ambruknya bendungan irigasi Puna adalah banjir, seharusnya perencanaan proyek sudah mempertimbangkan risiko tersebut dengan matang. Irigasi itu memang tempatnya di dalam air, artinya perencanaannya harus sudah dipikirkan secara matang,” tuturnya.
Dalam konteks hukum Indonesia, dugaan korupsi semacam ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 2 dan Pasal 3 UU ini secara tegas mengatur mengenai penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan anggaran yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Pihak yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dapat diancam dengan hukuman penjara hingga 20 tahun atau seumur hidup, serta denda maksimal Rp 1 miliar.