Morowali Utara – Perwakilan masyarakat transmigrasi Desa Tontowea, Kecamatan Petasia Barat, Kabupaten Morowali Utara, mengadukan PT Sawit Jaya Abadi (SJA) I pada Senin 15 Juli 2024 kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah atas dugaan beroperasi tanpa hak guna usaha (HGU) selama kurang lebih 17 tahun.
“Aktivitas ilegal ini diduga tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat setempat yang telah menggarap dan menguasai tanah tersebut sejak tahun 1992,” Ungkap Asjuni Saudarah,perwakilan Masyarakat transmigrasi yang melaporkan kasus ini.
Dalam laporannya menyebutkan, masalah ini mencuat setelah pada tahun 2007 terjadi kesepakatan antara masyarakat transmigrasi dan perusahaan di hadapan pemerintah Kecamatan dan tokoh adat.
Kesepakatan tertanggal 23 Oktober 2007 tersebut menyatakan bahwa tanah milik masyarakat transmigrasi akan dijadikan kebun plasma oleh PT Sawit Jaya Abadi. Namun, hingga saat ini, masyarakat tidak pernah menerima hasil apapun dari perusahaan tersebut.
“Kami merasa sangat dirugikan. Sudah sejak lama kami mengharapkan hasil dari kesepakatan tersebut, namun kenyataannya kami tidak mendapatkan apa-apa,” kata Asjuni Saudarah
Humas PT SJA Roby dikonfirmasi via whatsapp mengatakan,Terkait Hak Guna Usaha (HGU), memang benar bahwa hingga kini belum ada HGU. Alasan utamanya adalah untuk memastikan bahwa lahan sudah siap, clean dan clear.
“Pada awal pembukaan lahan, terdapat beberapa klaim yang harus diselesaikan. Akhirnya, pada tahun 2017 dibentuklah tim validasi dan verifikasi oleh pihak kecamatan dan pemerintah desa. Hasil dari proses validasi dan verifikasi tersebut telah dieksekusi,” terang Roby. Selasa,16 Juli 2024
Lebih lanjut Ia menjelaskan,perlu dipahami bahwa pengurusan HGU ini merupakan sebuah proses. Jika disebut bahwa kami beroperasi secara ilegal, kami menegaskan bahwa hal tersebut keliru. Kami telah beroperasi sejak tahun 2008 di Petasia Barat, Desa Tontowea, dengan dasar operasi INLOK/IUP.
“Terkait lahan transmigrasi yang akan dijadikan kebun plasma, hal ini perlu dikonfirmasi ke pihak desa atau pemerintah daerah,” terangnya.
Roby menjelaskan,di Lahan Usaha 1, kami menjalankan pola kemitraan dengan cara bagi hasil.
“Kami pernah dimediasi oleh pemerintah kecamatan dan pemerintah daerah terkait klaim masyarakat transmigrasi mengenai Lahan Usaha II. Masyarakat transmigrasi sepertinya meminta lahan tersebut untuk dimitrakan. Namun, hasil keputusan rapat baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten sudah jelas menyatakan bahwa Lahan Usaha II tersebut bukan merupakan lahan transmigrasi,” katanya.
Hal ini karena pembangunan desa potensial berada dalam desa induknya sendiri, yaitu Desa Tontowea, yang berbeda perlakuannya dengan transmigrasi pada umumnya.
“Pernyataan mengenai Lahan Usaha II tersebut bukan berasal dari kami, melainkan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2014,” jelas Roby.