Kejati Sulteng Terbitkan Sprinlid Dugaan Korupsi Tender Jalan Salakan-Sambiut?

Kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan dalam menangani suatu perkara masih cukup tinggi

Screenshot google

PALU – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng) diminta untuk serius menangani perkara dugaan korupsi yang melibatkan benturan kepentingan dalam proses tender rekonstruksi Jalan ruas Salakan-Sambiut. Laporan ini dilayangkan Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK) pada 2 Juli 2024 lalu.

Koordinator AMAK, akrab disapa Ulis, mengungkapkan harapan besar masyarakat terhadap Kejati dalam menyelesaikan kasus ini dengan transparan dan akuntabel.

“Kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan dalam menangani suatu perkara masih cukup tinggi, sehingga kami sangat berharap pihak Kejati seriusi laporan kami,” ujar Ulis dalam pertemuan dengan media di salah satu kafe ternama di Kota Palu, Senin, 15 Juli 2024.

Ulis menegaskan bahwa AMAK akan terus mengawal laporan dugaan korupsi ini hingga mendapatkan kepastian hukum.

“Kami akan terus mengawal kasus ini hingga ada kepastian hukum yang jelas,” tambahnya.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Tengah (Sulteng) Dr. Bambang Hariyanto, melalui Kasi Penkum Laode Abdul Sopian, dikonfirmasi menyatakan bahwa terkait laporan AMAK, pihaknya belum melakukan pemeriksaan karena Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlid) belum diterbitkan.

“Saat ini laporan AMAK sedang dalam proses telaahan,” tulis Abd Sofian via WhatsApp.

AMAK dalam laporannya menyebutkan bahwa PT. Karya Etam Bersama (KEB) mengikuti ketiga proses tender dan dua kali dinyatakan gugur sebelum akhirnya menang pada tender ketiga. Diduga kuat telah terjadi persekongkolan dan adanya bagi-bagi uang kepada sejumlah pihak yang terlibat dalam proses lelang demi memenangkan PT. KEB.

Dari beberapa bukti yang dilampirkan didalam laporan,salah satu bukti foto menunjukkan adanya klarifikasi penawaran lelang yang dilakukan di luar kantor resmi,yakni disalah satu hotel. Hal tersebut mengindikasikan adanya praktik tidak transparan.

Kasus ini diduga melanggar Pasal 12 huruf i UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal ini mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang turut serta dalam pengadaan barang dan jasa yang diurusnya dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

“Laporan tersebut disusun dengan tetap mengacu pada norma, etika, dan peraturan yang berlaku serta tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah,” ungkap Muhlis.

Penulis: RevoLRajawaLi
error: Content is protected !!