Oleh : Fadli Arifin
Di tengah hiruk-pikuk politik yang sering kali dipenuhi dengan janji-janji manis dan populisme, muncul seorang figur yang berbeda.
Haji Amrullah atau yang akrab disapa Babe, bukanlah wajah baru di kancah politik Parigi Moutong. Namun, dalam Pilkada 2024, ia membawa angin segar dengan visi perubahan yang berakar pada kepekaan terhadap realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Pada Pilkada 2018, Haji Amrullah berhasil meraih 38% suara, sebuah pencapaian yang tidak hanya menegaskan kepercayaan masyarakat terhadapnya tetapi juga memperkuat keyakinannya untuk kembali maju dalam Pilkada serentak 2024.
Parigi Moutong, kabupaten dengan jumlah daftar pemilih terbanyak di Sulawesi Tengah, membutuhkan lebih dari sekadar popularitas. Mereka membutuhkan inovasi.
Visi perubahan yang diusung Amrullah tidak lahir dari keinginan semu atau tren yang berlalu. Ia lahir dari pemahaman mendalam tentang potensi yang dimiliki Parigi Moutong—wilayah yang kaya akan sumber daya namun terbelenggu oleh kemiskinan.
“Ada yang salah dalam pengelolaan daerah lumbung padi ini,” ujarnya dalam salah satu obrolannya, menandakan kebutuhan mendesak akan perubahan dalam tata kelola yang lebih efektif dan inklusif.
Karakter kuat Amrullah, yang ditandai dengan kemampuan menjaga pertemanan dan komunikasi aktif dengan berbagai tokoh masyarakat, menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang pemimpin tetapi juga seorang visioner.
Dalam diskusi tentang generasi milenial dan Gen Z, Amrullah menekankan pentingnya melibatkan mereka dalam pembangunan masa depan Parigi Moutong yang berbasis digitalisasi dan ekonomi kreatif. Baginya, suara mereka bukan hanya untuk dimanfaatkan di TPS, tetapi juga untuk menjadi bagian dari proses pembangunan.
Konsep ‘Persatuan Permanen’ yang diusulkan Amrullah mungkin terdengar utopis di tengah pragmatisme politik saat ini. Namun, ia percaya bahwa persatuan ini adalah kunci untuk membawa Parigi Moutong menuju perubahan yang berkelanjutan.
Koalisi permanen ini bertujuan untuk merumuskan program pembangunan jangka panjang yang akan menjamin kelanjutan pembangunan Parigi Moutong, menghindari pendekatan ‘tambal sulam’ yang sering terjadi.
Stabilitas politik yang dihasilkan dari persatuan ini akan memungkinkan Parigi Moutong untuk fokus pada pembangunan yang sebenarnya. Tentu saja, konsep ini masih memerlukan diskusi dan keterlibatan banyak pihak untuk mencapai rumusan dan pengelolaan yang ideal.
Namun, pandangan Amrullah ini telah membuat banyak orang, termasuk penulis, jatuh hati.
Dengan langkah dari populisme ke inovasi, Amrullah Almahdali menawarkan harapan baru bagi Parigi Moutong. Sebuah harapan yang berlandaskan pada pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan masyarakat dan potensi daerah, serta komitmen untuk melibatkan generasi muda dalam menciptakan masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan.